Lembaran Hitam dibalik Penampilan Keren Kaum Wahabi

“Di Najd, akan muncul generasi pengikut setan”

Ke mana-mana selalu menyebarkan salam, selalu memakai baju bercorak gamis dan celana putih panjang ke bawah lutut, ciri-khas orang Arab. Jenggotnya dibiarkannya lebat dan terkesan menyeramkan. Slogannya pemberlakuan syariat Islam. Perjuangannya memberantas syirik, bid’ah, dan khurafat. Referensinya, al-Kitab dan Sunnah yang sahih. Semuanya serba keren, valid, islami.

Begitulah kira-kira penampilan keren kaum Wahabi, yang sepintas dan secara lahiriah (tampak luar) meyakinkan, mengagumkan.

Tapi jangan tertipu dulu dengan setiap penampilan keren. Kata pepatah jalanan, tidak sedikit di antara mereka yang memakai baju TNI, ternyata penipu, bukan tentara.

Pada masa Rasulullah S.a.w, diantara tipologi (tipu daya) kaum Khawarij (yang benih-benihnya mulai muncul pada masa Beliau), adalah ketekunan mereka dalam melakukan ibadah melebihi ibadah kebanyakan orang, sehingga Beliau S.a.w perlu memperingatkan para sahabat dengan bersabda, “Kalian akan merasa kecil, apabila membandingkan ibadah kalian dengan ibadah mereka.”.

Demikian pula halnya dengan kaum Wahabi, yang terkadang memakai nama keren “kaum Salafi”. Apabila diamati, sekte yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi (1115-1206 H/1703-1791 M), sebagai kepanjangan dari pemikiran dan ideologi Ibnu Taimiyah al-Harrani (661-728 H/1263-1328 M), akan didapati sekian banyak kerapuhan (kejanggalan) dalam sekian banyak aspek keagamaan.

Sejarah Hitam

Sekte Wahabi (terkadang memakai nama 'salafi'), seperti biasanya sekte-sekte yang menyimpang dari manhaj Islam Ahlussunnah wal Jama'ah memiliki lembaran-lembaran hitam dalam sejarah. Kerapuhan sejarah ini setidaknya dapat dilihat dengan memperhatikan sepak terjang Wahabi pada awal kemunculannya. Di mana agresi dan aneksasi (pencaplokan) terhadap kota-kota Islam seperti Mekkah, Madinah, Thaif, Riyadh, Jeddah, dan lain-lain, yang dilakukan Wahabi bersama bala tentara Amir Muhammad bin Saud, mereka anggap sebagai 'jihad fi sabilillah' seperti halnya para Sahabat menaklukkan Persia dan Romawi atau Sultan Muhammad al-Fatih menaklukkan Konstantinopel.

Selain menghalalkan darah Kaum Muslimin yang tinggal di kota-kota Hijaz dan sekitarnya, kaum Wahabi juga menjarah harta benda mereka dan menganggapnya sebagai ghanimah (hasil jarahan perang) yang posisinya sama (disamakan) dengan jarahan perang dari kaum kafir. Hal ini berangkat dari paradigma Wahabi yang mengkafirkan kaum Muslimin dan menghalalkan darah dan harta benda kaum Muslimin Ahlussunnah wal Jama'ah pengikut mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali yang tinggal di kota-kota itu.

Lembaran hitam sejarah ini telah diabadikan dalam kitab asy-Syaikh Muhammad bin ‘Abdul Wahhâb; ‘Aqîdatuhus-Salafiyyah wa Da’watuhul-Ishlâhiyyah karya Ahmad bin Hajar Al-Buthami (bukan Al-Haitami dan Al-‘Asqalani)–ulama Wahabi kontemporer dari Qatar, dan dipengantari oleh Abdul Aziz bin Baz.

(Baca pula: Sekilas Asal-usul Aliran Sesat Wahabi).

Kerapuhan Akidah (Ideologi)

Dalam akidah Ahlussunnah wal Jama'ah, berdasarkan firman Allah S.w.t, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Allah)”. (QS asy-Syura: 11), dan dalil ‘aqli yang definitif, di antara sifat wajib bagi Allah adalah mukhalafah lil-hawadits, yaitu Allah berbeda dengan segala sesuatu yang baru (alam). Karenanya, Allah itu ada tanpa tempat dan tanpa arah. Dan Allah itu tidak duduk, tidak bersemayam di ‘Arasy, tidak memiliki organ tubuh dan sifat seperti manusia. Dan menurut ijma' ulama salaf Ahlussunnah wal Jama'ah, sebagaimana dikemukakan oleh al-Imam Abu Ja’far ath-Thahawi (227-321 H/767-933 M), dalam al-‘Aqidah ath-Thahawiyyah, orang yang menyifati Allah dengan sifat dan ciri khas manusia (seperti sifat duduk, bersemayam, bertempat, berarah, dan memiliki organ tubuh), adalah kafir. Hal ini berangkat dari sifat wajib Allah, mukhalafah lil-hawadits.

Sementara Wahabi (kadang memakai nama 'salafi') mengalami kerapuhan fatal dalam hal aqidah (ideologi). Mereka terjerumus dalam faham tajsim (menganggap Allah memiliki anggota tubuh dan sifat seperti manusia) dan tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Padahal menurut al-Imam asy-Syafi’i (150-204 H/767-819 M) seperti diriwayatkan olah as-Suyuthi (849-910 H/1445-1505 M) dalam al-Asybah wan-Nazha’ir, orang yang berfaham tajsim, adalah kafir, karena berarti penolakan dan pengingkaran terhadap firman Allah, “Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia (Allah).”. (QS asy-Syura: 11).

(Baca pula: Mengenal Kesesatan Aqidah Tasybih).

Kerapuhan Tradisi

Di antara ciri khas Ahlussunnah wal Jama'ah adalah mencintai, menghormati, dan mengagungkan Rasulullah S.a.w, para Sahabat, ulama salaf yang saleh, dan generasi penerus mereka yang saleh seperti para Habaib dan kyai yang diekspresikan dalam bentuk tradisi semisal tawassul, tabarruk, perayaan Maulid, haul, dan lain-lain. Sementara kaum Wahabi mengalami kerapuhan tradisi dalam beragama, dengan tidak mengagungkan Nabi S.a.w, yang diekspresikan dalam pengafiran tawasul dengan para nabi dan para wali. Padahal tawasul ini, sebagaimana terdapat dalam Hadis-Hadis sahih dan data-data kesejarahan yang mutawâtir, telah dilakukan oleh Nabi Adam, para Sahabat, dan ulama salaf yang saleh. Sehingga dengan pandangannya ini, Wahabi berarti telah mengafirkan Nabi Adam, para Sahabat, ahli Hadis, dan ulama salaf yang saleh yang menganjurkan tawasul.

Bahkan lebih jauh lagi, Nashiruddin al-Albani -ulama Wahabi kontemporer- sejak lama telah menyerukan pembongkaran al-Qubbah al-khadhrâ’ (kubah hijau yang menaungi makam Rasulullah S.a.w) dan menyerukan pengeluaran jasad Nabi S.a.w dari dalam Masjid Nabawi, karena dianggapnya sebagai sumber kesyirikan. Albani juga telah mengeluarkan fatwa yang mengafirkan al-Imam al-Bukhari, karena telah melakukan takwil dalam ash-Shahih-nya. Demikian sekelumit dari ratusan kerapuhan ideologis Wahabi. Dari sini, kita perlu berhati-hati dengan karya-karya kaum Wahabi, sekte radikal yang lahir di Najd.

Dalam Hadist riwayat al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain, Nabi Muhammad S.a.w bersabda, “Di Najd, akan muncul generasi pengikut setan”. Menurut para ulama, maksud generasi pengikut setan dalam hadist ini adalah kaum Wahabi.

~ Ustadz Idrus Ramli ~


Previous
Next Post »